PERTENGAHAN 1990 di Yogyakarta, sebuah koran kecil bernama BERNAS diambil alih oleh Group KOMPAS Gramedia. Tak hanya menyuntikkan modal, raksasa media itu juga menanamkan wartawan-wartawan muda dengan kompetensi prima. BERNAS menjelma menjadi sebuah koran dengan citra progresif, intelek dan bertata bahasa sempurna.
Di sisi lain, secara tradisional dunia pers Yogya identik dengan koran legendaris Kedaulatan Rakyat yang menguasai pangsa pasar industri pers setempat. Isinya ‘sangat Yogya’. Mulai dari rubrik interaktif ‘Sungguh-sungguh Terjadi’, konsultasi weton Jawa ‘Mbah Kalam’, edisi Minggu Pagi hingga anaknya, majalah Jaka Lodhang.
Baca Juga: Alun-alun Milik Siapa?
Tak hanya isi, bahasa yang digunakan pun sangat berlanggam Jogja. Kadang bercampur baur dengan ungkangan-ungkapan khas Yogya yang jika dilihat secara tata bahasa Indonesia akan dirasa kurang pas.
Dalam sebuah obrolan santai, saya sempat tanyakan kepada Pak Wariyun, Pemimpin Redaksi saat itu yang juga seorang budayawan, mengapa KR tidak melakukan upgrading tampilan dan bahasa, agar memberi kesan modern dan intelek. Jawabannya khas seorang Wariyun, “Mboten sah diowahi. Wong Jogja niku nek ngendikan nggih ngoten niki. Nek diowahi ndak da pangling”. Tidak usah diubah. Ini memang cara berbicara orang Jogja. Kalau diubah nanti banyak yang tidak mengenali. Kebijakan nyleneh itu kemudian hari terbukti memperkokoh posisi Kedaulatan Rakyat sebagai korannya Jogja sementara para kompetitor terpaksa gulung tikar.
Mengkritisi Pola Komunikasi H Arif Sugiyanto
Peristiwa di atas muncul lagi dalam ingatan ketika mendengar seorang teman yang mengkritisi pola komunikasi H. Arif Sugiyanto, Bupati Kebumen yang akan mencalonkan diri kembali dalam Pilkada November mendatang. Publik Kebumen, apalagi yang aktif berselancar di media sosial, pasti sudah mahfum bahwa bupati satu ini sangat aktif di media sosial. Bahkan konon Pak Arif selalu meluangkan waktu untuk membaca komentar dan menanggapi secara personal.