
Oleh Banyu Amerta
AKU nggak pernah benar-benar jatuh cinta sama seni. Maksudku, aku bisa menggambar dan melukis. Bisa banget malah. Aku tahu teknik arsir yang benar, paham anatomi manusia, melukis menggunakan berbagai cat, dan bisa bikin sketsa realistis dalam hitungan menit.
Tapi aku nggak pernah merasa seni itu sesuatu yang spesial. Nggak ada gairah di situ, nggak ada sensasi ’wah’ yang sering orang-orang bicarakan. Bagiku, menggambar hanya keterampilan, bukan kecintaan.
Sampai kamu datang.
Hari itu, art studio baru aja mulai setelah libur semester. Aku duduk di sudut, menggambar tanpa benar-benar berpikir. Aku lebih banyak main HP ketimbang fokus ke kertas gambar. Lalu, pintu ruangan terbuka, dan kamu masuk.
“Hai, ini bener ruangannya art studio?”
Aku mendongak dan melihatmu berdiri di sana, tangan menggenggam map besar dengan wajah yang penuh kebingungan.
Aku ingat, aku menatapmu cukup lama sampai teman di sebelahku harus menyikut lengan.
“B-bener,” jawabku agak gagap. “Kamu… anak baru?”
Kamu mengangguk. “Iya. Aku baru daftar. Tapi aku… pemula banget. Bahkan gambar rumah aja masih pakai bentuk kotak dan segitiga.”
Aku terkekeh. Sesuatu dalam diriku, entah kenapa, tiba-tiba menyala. Aku nggak tahu itu apa, tapi untuk pertama kalinya, aku ingin benar-benar menggambar. Aku ingin mengajarimu.
Aku mulai mengajarimu dari nol. Dari bagaimana menggenggam pensil dengan benar sampai bagaimana membangun garis dasar sebelum membuat sketsa dan menggunakan cat pada kanvas. Kamu sangat payah di awal, tapi kamu juga sangat antusias. Setiap kali aku mengoreksi gambarmu, kamu nggak pernah terlihat kecewa. Kamu malah semakin bersemangat.
Aku suka itu.
Hari demi hari, kita makin dekat. Aku mulai menunggu waktu art studio hanya untuk bisa mengajarimu lagi. Ada sesuatu tentang caramu berkonsentrasi yang menarik. Caramu mengerutkan dahi saat mencoba menggambar tangan, bagian yang paling susah buatmu membuatku tersenyum. Caramu memiringkan kepala saat mengamati sketsa, seakan-akan kamu mencoba berbicara dengannya, membuatku ingin menggambar lebih banyak.
Tiba-tiba, seni menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar keterampilan bagiku. Itu jadi caraku mengenalmu lebih dalam.
Dan tanpa aku sadari, aku mulai menggambar wajahmu lebih sering daripada yang seharusnya.
“Aku nggak ngerti,” katamu, menatap sketsa milikku. “Aku nggak secantik itu, deh.”
Aku memiringkan kepalaku, memandangmu sebentar sebelum kembali ke gambar. “Kamu nggak harus ngerti. Kamu tinggal terima aja.”
Kamu tertawa kecil. “Ini pertama kalinya ada orang menggambarku.”
Aku mengangkat bahu. “Ya, baguslah. Aku yang pertama.”
Kamu terdiam. Aku melanjutkan goresanku, tidak menyadari bahwa kamu masih memandangku.
“Aku suka ini,” katamu pelan. “Bukan gambarnya, tapi… caramu melihatku.”
Tanganku berhenti di udara. Aku menatapmu.
Dan saat itu, aku sadar.
Aku nggak hanya menggambar wajahmu. Aku ingin… sesuatu yang lebih dari itu.
***
Hubungan kita semakin erat. Aku nggak pernah secara eksplisit bilang aku menyukaimu, tapi aku pikir kamu tahu. Aku pikir, kamu juga merasakannya. Karena kalau tidak, kenapa kamu selalu memilih duduk di sampingku? Kenapa kamu selalu minta diajari olehku, padahal sudah banyak orang lain yang juga bisa?
Aku ingin percaya bahwa kamu juga melihat seni sebagai sesuatu yang lebih dari sekadar gambar di atas kertas atau goresan warna di kanvas.
Bahwa kamu melihatnya seperti aku melihatmu. (Bersambung)
News & Inspiring