Gegar Budaya di Gereja Prembun

Gereja Katolik Prembun
Gereja Katolik Prembun. (Foto: Sigit)

SEKALIPUN luput dari perhatian media dan publik, di komplek Gereja Katolik Prembun tengah terjadi kecelakaan budaya yang menyedihkan. Sebuah bangunan bersejarah dirobohkan demi lahan parkir yang lebih luas.

Sempat ada peninjauan dari Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah X yang diikuti dengan terbitnya surat yang menyatakan bahwa gedung tersebut layak dinyatakan sebagai cagar budaya, baik dari faktor fisik maupun karena menyimpan ingatan kolektif lokal. Namun suara dari badan pemerintah tersebut ternyata tidak mengubah langkah perobohan.

Bacaan Lainnya

Pemerintah sendiri lewat Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya telah dengan sungguh-sungguh memberi payung hukum yang tegas dan jelas bagi langkah-langkah perlindungan cagar budaya. Dalam undang-undang tersebut dengan jelas disebutkan kriteria benda/bangunan cagar budaya adalah (1) berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih; (2) mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun; (3) memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan; dan (4) memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Baca Juga: Prembun Gawe Gumun: Saatnya Menatap ke Timur

Dalam kenyataan di lapangan, masih saja banyak pihak yang mengabaikan undang-undang tersebut dengan berbagai dalih. Di banyak tempat, ‘musuh’ utama pelestarian adalah faktor ekonomi. Kebutuhan perluasan lahan usaha dan aktivitas ekonomi yang semakin laju sering mengorbankan keberadaan benda dan cagar budaya. Karena itulah lembaga sosial seperti sekolah dan lembaga keagamaan diharapkan justru menjadi role model, menjadi pelaku panutan dalam proses pelestarian cagar budaya.

Pos terkait