
“KAMU nggak datang ke art studio lagi?” tanyamu, duduk di sebelahku di kantin.
Aku menatap minumanku, mengaduk-aduk es batu yang mulai mencair. “Nggak ada gunanya.”
Kamu diam sebentar sebelum bertanya, “Kenapa kamu ngomong kayak gitu?”
Aku menghela napas, menahan dorongan untuk membentaknya. “Karena aku udah nggak bisa gambar. Aku bukan siapa-siapa lagi di sana.”
Kamu menggigit bibir. “Tapi kita bisa tetap-”
“Ngapain?” potongku.
“Apa yang bisa aku lakukan di sana kalau aku bahkan nggak bisa pegang kuas dengan benar?”
Aku bisa melihat ekspresi di wajahmu berubah. Matamu yang biasanya penuh semangat, kini tampak redup.
“Tapi … aku nggak ke art studio cuma karena seni,” katamu pelan. “Aku ke sana karena kamu juga ada di sana.”
Aku tertawa kecil, sarkastik. “Ya, dan sekarang aku nggak ada di sana. Jadi buat apa?”
Hari itu, aku melihat matamu mulai dipenuhi keraguan.
***
“Kamu masih bisa menggambar, atau bahkan melukis,” katamu, suatu hari saat kamu berhasil menyeretku kembali ke ruang art studio.
Aku tertawa sinis. “Lihat hasil gambarku,” kataku, melemparkan sketsa yang penuh coretan kasar. “Ini sampah.”
“Kenapa harus sempurna?” tanyamu. “Kenapa harus seperti dulu? Kenapa nggak cukup kalau kamu masih bisa berkarya?”
News & Inspiring