Cerita Pendek: Banjir

Iustrasi banjir. (Foto: Istimewa)

Cerpen: Dian PD

BANJIR

 

“Banjirrrrr …. banjirrrrr ….. !”

Suara teriakan orang-orang di luar rumah membangunkanku, dini hari itu. Suara kentongan dan teriakan warga bersautan memecah malam. Bersatu dengan suara hujan deras yang turun. Sekitar pukul 01.15 kampungku diterjang banjir.

Seharian itu Kebumen diguyur hujan tanpa henti. Akibatnya, debit air yang tinggi membuat sungai-sungai yang ada di sekitar tempat tinggalku, meluap. Salah satunya Sungai Sagon. Bahkan kudengar ada tanggul sungai lainnya yang jebol. Jadilah dini hari itu kami harus menyelamatkan diri dan membawa barang yang bisa kami bawa sebelum air meninggi. Terutama dokumen-dokumen penting.

***

Aku, Ibu dan Bapak, berbaur menjadi satu dengan warga lainnya di gedung Balai Desa. Di sini ada sekitar 200 jiwa yang mengungsi. Warga lainnya kudengar berada di dua titik pengungsian lain yang telah disiapkan.

Banjir memang menjadi salah satu bencana yang kami waspadai saat hujan turun terus menerus. Tapi seingatku, ini adalah banjir terparah yang kami alami setelah belasan tahun. Beruntung, pemerintah kabupaten cepat tanggap. Semua warga terdampak langsung diarahkan menuju lokasi pengungsian.

Perangkat desa dan kecamatan kulihat hilir mudik sejak kami berada di tempat ini. Pasti berat bagi mereka, selain harus menyelematkan diri sendiri dan keluarganya, ada tanggung jawab penting yang juga mereka emban, menyelamatkan warga.

Mataku menangkap bayangan pria bertubuh tegap dengan rambut cepak, memakai kaos warna orange. Hatiku seketika berdesir. Ah, bisa jadi itu orang lain.

“Mba Mayang, sudah dapat selimut?”
Suara Pak Kadus mengagetkanku

“Sudah, Pak. ”
“Kalau butuh obat atau minyak kayu putih, bisa ambil di kotak di ujung itu ya, Mba.. Atau barangkali ada warga lain yang butuh bisa tolong dikasih tau .., ” pesan Pak Kadus
“Baik, Pak… Maturnuwun..”
“Oya, Mba Mayang.. Tolong dibantu juga, ya … Meski kita lagi situasi bencana, sebisa mungkin tetep disiplin protokol kesehatan. Kalau ada yang batuk, ingatkan jangan sampai gak pakai masker..”
“Baik, Pak Kadus …”

Ika, tetanggaku yang kebetulan baru saja menikah dengan seorang Polhut, tiba-tiba menanyakan minyak kayu putih padaku.
” Mayang, kamu ada minyak kayu putih ?”
” Sebentar aku ambil, kata Pak Kadus ada di kotak itu …” jawabku menunjuk sebuah kotak kontainer besar yang tadi ditunjukan Pak Kadus

” Ini, minyaknya, Ka..”
” Makasih ya, Yang… Duh aku lagi agak bermasalah ini perut. Malah la kok ndilalah banjir. Duuh … ” keluh Ika sembari mengoles perutnya dengan minyak kayu putih.

” Moga-moga ndang sembuh sakit perutnya. Banjirnya juga moga-moga cepet reda..” jawabku.
” Aamiin …”
” Suamimu di mana, Ka ?”
” La, ya ituu .. Ndilalah suamiku pas lagi luar kota, ada evaluasi soal pengamanan dan perlindungan hutan gitu katanya,”
“Oh ..”

“Eh, tau gak, kemarin itu Mas Danar padahal baru aja rasan-rasan sama aku, dia priatin banget sekarang itu orang pada ngawur, ngakunya peduli lingkungan, go green.. , tapi gak peduli tu sama lingkungan. Sekarang itu trendnya bukan nanem pohon, tapi nanem tanaman hias di pot,” seloroh Ika dengan wajahnya yang terlihat kesal.

Aku tersenyum mendengar cerita Ika. Ya, pandemi membuat trend hobi baru bagi banyak orang memang. Bahkan yang semula sama sekali tak paham dengan jenis tanaman hias, kini mendadak hafal hingga nama latinnya. Trend ini tidak dipungkiri juga menjadi peluang bisnis baru. Seolah menjadi batu loncatan di tengah pandemi corona yang belum usai.

Obrolan kami terhenti saat Pak Camat memberikan pengumuman agar bagi yang kondisinya sehat, diminta kesediannya untuk membantu di Dapur Umum.

***

Ada sekitar 300 bungkus nasi yang kami siapkan untuk sekali makan. Aku kebagian tugas membungkus nasi berisi lauk dan dua jenis sayur. Oseng mie dan oseng tempe. Warga lainnya membantu memasak nasi dan menyiapkan minuman panas. Sebagian lainnya membantu warga lansia yang kondisinya kurang sehat.

“Yang, Bapakmu kok gak keliatan ?”
Suara ibu mengagetkanku yang sedang konsentrasi membungkus paket nasi.

“Bapak lagi bantu bagi paket nasi, Bu ..” jawabku
“Oh, ya udah, Ibu pikir lagi ke mana…”
“Ibu mau makan sekarang ?”
“Nanti aja, itu buat anak-anak dulu aja. Jangan sampe mereka kenapa napa..” jawab Ibu.

Ibu memang selalu mengutamakan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Itulah mengapa, Ibu sangat menginginkan dapat mantu yang bekerja di penanggulangan bencana.

Ingatanku pun kembali pada masa itu. Sebuah kisah yang ingin aku lupakan ….

***

Hubunganku dengan Naryak terjalin sejak kami sama-sama memutuskan untuk menempuh pendidikan di Universitas Terbuka. Simple saja, agar kami sama-sama tetap bisa bekerja. Dia masih menjadi relawan bencana saat itu. Sementara aku, sebagai tenaga administrasi di Balai Dusun. Ibu sangat mendukung hubungan kami. Apalagi Ibu sangat mengidolakan orang yang bekerja di bidang kemanusiaan.

“Aku pingin punya mantu yang bisa bantu-bantu kalau ada bencana ..” seloroh Ibu sore ketika itu padaku
” Kenapa memangnya, Bu ?”
“Ya mereka itu luar biasa, hebat. Mementingkan orang lain di atas keselamatan dirinya sendiri. Kayak hero-hero di pilem itu, to ?!”
Kami pun selalu tergelak dengan alasan Ibu tiap kali menyampaikan tentang sosok menantu idamannya. Namun, rupanya impian Ibu dan juga cintaku, harus kandas. Karena lelaki itu tiba-tiba menghilang begitu saja ….

“Mba Mayang …. bisa tolong ambilkan nasi bungkus untuk kami ?
Suara Pak Kadus membuyarkan lamunanku

“Ini, Pak Kadus .. Monggo …” ucapku sembari menyerahkan beberapa bungkus nasi yang kuletakan di atas nampan kayu

Dan betapa kagetnya aku saat kulihat sosok pria di samping Pak Kadus. Pria itu adalah Naryak.

“Ma..Ma..yang ..? “seru Naryak tergagap
“Loh, kalian udah saling kenal, to ? ” tanya Pak Kadus
Aku hanya terdiam dengan mata terbelalak tak percaya.
“Eh, njih Pak Kadus … Kenal..” sahut Naryak

Setelah menyerahkan nampan berisi nasi bungkus, aku segera berlalu meninggalkan mereka berdua. Aku tak bisa menyembunyikan rasa, yang entah apa namanya. Yang jelas, aku marah sekali. Ingin rasanya kumaki laki-laki itu. Pria tak berperasaan yang sok baik. Laki-laki yang hanya bisa melambungkan mimpiku kemudian menghadiahiku rasa sakit yang luar biasa.

“Mayang, kamu kenapa ?”
Ika bertanya padaku karena beberapa kali aku tak sengaja menjatuhkan bungkusan bumbu dapur di kantong kresek.
“Gak papa, capek kali ya..”sautku lirih
“Kalau capek istirahat dulu…”
” Iya, gak papa .. Kita kan harus siap-siap, sebentar lagi infonya ada kunjungan Pak Bupati .. ” jawabku sembari menyembunyikan kelopak mataku yang mulai basah. Sungguh, aku menangis bukan karena aku sedih. Aku marah. Sangat marah pada Naryak. Aku sangat menyesali pertemuan kami barusan.

***

Rasa marah dan sakitku sementara teralihkan karena kesibukan kami di tempat pengungsian. Logistik pun terus berdatangan dan langsung disalurkan bagi yang membutuhkan. Logistik yang masuk tidak hanya bahan makanan pokok seperti beras dan mie instan. Namun juga makanan siap saji dan aneka obat-obatan. Termasuk perlengkapan kebutuhan pribadi dan juga kebutuhan anak-anak seperti susu dan pampers. Selimut dan pakaian bersih siap pakai juga dikirimkan dari Kabupaten serta para donatur.

“Bagaimana nasib gabah – gabah kami …”
“Di mana besok kami akan tinggal, rumah kami rusak tak bisa ditempati …”

Pertanyaan-pertanyaan ini terus dikeluhkan beberapa warga. Ya, bencana bagaimanapun selalu menimbulkan kerugiaan. Meski tak ada korban jiwa. Namun bencana ini tetap saja menimbulkan kerugiaan harta benda.

Beruntung, Pemkab benar-benar memastikan seluruh korban bencana tertangani dengan cepat dan tepat. Tim dari PMI dan BPBD sepanjang waktu berada di lokasi bencana. Mereka terus memberikan pertolongan dan evakuasi pada warga yang masih bertahan di rumahnya. Dan tentunya, Naryak ada diantara orang-orang yang memberikan bantuan pertolongan itu…

Hujan belum reda. Aku mematung di tenda dapur umum yang saat ini terlihat sepi karena hampir semua pengungsi saat ini berada di gedung dalam. Sesekali kubasuh wajahku yang terkena cipratan air hujan. Ingatanku pun berputar seketika saat dimana aku merasa seperti orang yang hampir mati. Aku bingung luar biasa ketika tiba-tiba nomor HP Naryak tak bisa dihubungi. Semua sosial media miliknya juga tidak aktif. Aku coba untuk bertanya ke teman-temannya, tapi tak ada satupun yang bisa memberi jawaban atas pertanyaanku. Sampai akhirnya, aku pun menyerah ketika aku mendengar kabar kedekatannya dengan seorang perempuan.

” Mayang … ”
Aku tertegun mendengar suara itu. Disaat yang bersamaan kurasakan pundakku disentuh. Naryak …

Kutepiskan dengan cepat tangan itu. Kubuang pandanganku jauh kearah sungai
“Ngapain kamu ke sini ? ”
“Mayang..ada yang harus kejelaskan … ”
“Gak perlu. Semua sudah terlambat. Aku gak butuh penjelasan apapun lagi! ”
” Mayang, maafin aku … Aku tidak bermaksud menyakiti kamu …”
” Bisa-bisanya, ya kamu bilang begitu ? ” potongku cepat
” Maaf …Mayang ..”
” Oke, kuberi kesempatan kamu bicara. Cepat. Sebelum aku berubah pikiran!”
” Mayang, ada alasan kenapa aku menghilang…” jelas Naryak dengan matanya yang merah dan juga basah.
Aku tahu, dia berusaha menahan tangisnya.
” Kenapa ?!”
“Mayang … Bapakmu waktu itu bilang ke aku, dia hanya akan menikahkan anaknya dengan orang yang memiliki pekerjaan tetap, sedangkan aku, kamu tahu sendiri aku hanya seorang relawan..”
“Aku gak percaya yang kamu bilang !”
“Demi Tuhan, Mayang … Aku gak bohong …”
Aku tercekat mendengar penjelasan Naryak…

“Kalaupun itu benar, tidak semestinya kamu menghilang begitu saja. Tanpa penjelasan sedikitpun. Kamu jahat!”
“Iya, maaf, aku salah… Aku benar-benar minta maaf … ”

“Kalau memang kita tidak ditakdirkan bersama sebagai pasangan, tidak seperti itu caramu pergi …! ” kataku setengah berteriak sembari meninggalkan Naryak yang tergugu …

Hujan mulai reda. Namun rintiknya masih ada.
Aku membenamkan kedua kakiku dalam genangan air sungai yang masih memenuhi jalanan di hadapanku setinggi lutut orang dewasa.  Aku berjalan. Terus berjalan, meninggalkan semua di belakang …

(*dp)

Update Lainnya