MEDIO 90-an, di kota tempatku tinggal ada sebuah kawasan yang hampir sebagian besar warganya menjadi pemilik kost-kostan. Itu karena di area tempat kami tinggal berada di pusat kota. Dekat dengan banyak perbankan dan perkantoran pemerintah.
Kebetulan juga saat itu baru saja berdiri sebuah pusat perbelanjaan di dekat area kami tinggal. Otomatis banyak karyawannya yang nge-kost dengan memperhitungkan banyak hal. Salah satunya jarak tempuh ke lokasi kerja lebih dekat.
Selain rumahku yang menyewakan kamar kost, tetangga sebelah rumah kami yang kebetulan memiliki banyak kamar kosong juga menyewakan kamarnya untuk kost-kostan.
Baca Juga: Cerita Pendek: Banjir
Rumah tetanggaku ini dihuni sepasang suami istri yang sudah sepuh. Mbah Jat, begitu kami memanggilnya. Mbah Jat kakung, seorang pensiunan. Sedangkan Mbah Jat putri, ibu rumah tangga biasa. Mereka memiliki tujuh orang anak yang saat itu semuanya sudah mentas, bekerja dan tinggal di luar kota. Itulah kenapa banyak kamar yang kosong.
Mbah Jat memiliki sebuah sumur yang airnya hampir tidak pernah kering. Sumur Mbah Jat ini menjadi sumber mata air bagi warga yang saat itu belum semuanya berlangganan PDAM. Mereka saban hari mengandalkan sumur Mbah Jat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, seperti memasak, mencuci dan keperluan lainnya.
Meski sumur Mbah Jat selalu penuh dengan air, tidak pernah asat, entah mengapa aku merasa takut. Hawa sumur itu terasa menyeramkan. Lembab. Gelap. Padahal mestinya cahaya bisa masuk dengan sempurna mengingat letaknya yang meski menyatu dengan rumah utama namun tidak diberi atap.
Banyak Warga Terpeleset
Area sumur itu rutin dibersihkan. Warga sadar diri dan dengan suka rela membersihkan setiap kali selesai mengambil air di sore hari. Namun lantai sekitar sumur bertegel itu selalu terlihat dan terasa licin.
Banyak warga terpeleset. Mereka mengaku seperti didorong saat sedang mengangkut ember-ember berisi air.
Oya, sumur Mbah Jat tidak bisa diakses warga selepas Ashar.