
SALAH satu pencapaian demokrasi Indonesia pasca-reformasi adalah pelaksanaan pemilihan rakyat secara langsung untuk kepala daerah seperti bupati, walikota, dan gubernur. Sistem ini bertujuan untuk mendekatkan kedaulatan rakyat dengan proses politik, memungkinkan masyarakat untuk memilih pemimpin yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan lokal. Namun, wacana untuk mengembalikan proses pemilihan ini ke legislatif, baik di DPR tingkat I maupun tingkat II, telah menimbulkan perdebatan yang serius.
Langkah ini dipandang oleh banyak orang sebagai kemunduran dari praktik politik sentralistik yang ciri khas Era Baru (Hadiz, 2010). Ketika keputusan legislatif menggantikan demokrasi langsung, rakyat kehilangan hak mereka untuk memilih langsung pemimpin mereka. Pendekatan kritis fenomenologi Edmund Husserl membantu kita mengupas masalah ini secara menyeluruh. Metode ini memungkinkan kita menemukan esensi dengan melihat di balik fenomena permukaan.
Fenomenologi adalah studi tentang pengalaman sadar yang berfokus pada cara fenomena muncul dalam kesadaran manusia. Menurut Moralan (2000), pendekatan ini melibatkan Epoché atau reduksi fenomenologis. Dalam pendekatan ini, semua asumsi, prasangka, dan keyakinan yang berkaitan dengan pengalaman dihilangkan untuk mengungkap esensi asli dari fenomena tersebut. Fenomenologi menjadi penting dalam konteks politik untuk memahami pengalaman demokrasi, terutama ketika mekanisme dasar berubah, seperti pemilihan legislatif untuk kepala daerah.
Prinsip Intentionalitas, yang menyatakan bahwa kesadaran selalu diarahkan pada sesuatu, adalah salah satu ide penting dari Husserl. Dalam hal pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh legislatif, kita dapat melihat bagaimana tindakan legislatif tidak sepenuhnya netral, tetapi diarahkan oleh niat tertentu. Fenomenologi membantu menggali dorongan bawah tanah di balik tindakan.
Pertama, Pengalaman Historis: Paralel dengan Politik Orde Baru. Pada masa Orde Baru, pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD; pada praktiknya, pemerintah pusat mengontrolnya melalui pengaruh militer dan kontrol partai dominan (Robison & Hadiz, 2004). Proses ini tidak pernah benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat; sebaliknya, itu berfungsi sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan segelintir individu yang berkuasa di pemerintahan.
News & Inspiring