
Cerpen: Dian PD
”Di sini sekarang sudah beda, Mbak….”
Banyak yang sudah berubah di kota ini. Dan kelopak mataku basah mulai digenangi air.
“Betapa waktu telah mengubah semua, ya….”
Aku menjawab lirih hampir tak terdengar. Pulang ke kota ini selalu membawa beribu kenangan lama yang selalu menyesakkan.
“Jadi, berapa lama Mba di sini? Gak kangen makan makanan yang dulu biasa kita jajan..?”
“Aku akan balik besok pagi, Ti…,” sahutku lirih.
Aku baru saja selesai mandi. Siti anak Pak Gopar yang tinggal di belakang pereng kali menawarkanku air hangat untuk mandi. Namun kutolak. Anak itu yang bertugas membersihkan rumah dan menjaganya setiap hari. Ketimbang kosong, aku pun mempersilahkannya untuk menempati sembari ia membuka lapak di halaman depan rumah. Siti berjualan kopi dan aneka gorengan.
“Mba, mau minum teh atau kopi ?”
“Kopi boleh deh, Ti..”
Tak lama Siti pun memberiku secangkir kopi panas dan selepek pisang goreng.
“Kopimu rasanya masih sama, Ti..”
“Ya iyalah, Mbak. Pisang gorengnya Mba mumpung panas..”
Aku mulai menyeruput kopi buatan Siti dan mengambil pisang goreng buatannya yang ia goreng seperti yang biasa aku minta dulu.
“Masih inget juga kamu, Ti cara goreng pisang kesukaanku,” sautku sembari mulai menggigit pisang kapok kuning yang sangat susah kutemui di Jakarta.
Aku menyalakan radio tua yang ternyata masih bertengger di ruang keluarga. Ah, kenangan itu pun kembali menari-nari di kepalaku. Bagaimana dulu aku begitu semangatnya menjadi seorang penyiar radio remaja di sebuah station radio kebanggaan di kota ini. Ternyata hobby dan profesiku itu mengantarkanku di posisi sekarang. Ada dua radio besar di Jakarta yang aku pegang. Aku masih pula menjadi editor di sebuah majalah fashion ibukota.
“Mbak, saya tu pingiiin bangeeet ke Jakarta. Bosen mba di sini..”
“Tapi, setidaknya kamu harus lebih bersyukur. Di sini suasananya lebih nyaman. Gak perlu macet-macetan. Kamu juga tetep bisa menyalurkan bakat kamu kan…”
“Bakat apa to Mbaaak. Bakat bikin gorengan?”
Lalu kami tergelak, tertawa bersama.
“Mbak, ada telfon mau diangkat gak, dari tadi loh bunyinya ?”
Siti bertanya lirih sembari membangunkanku yang entah sudah berapa lama tertidur di sofa. Rapijali masih ada di pangkuanku. Aku belum menyelesaikan buku pertama. Rasanya hampir seperti tak ada waktu untuk sekadar membaca buku semenjak aku di Jakarta. Kulirik handphoneku. Kulihat ada 13 kali panggilan tak terjawab dari Doni.
“Gak ditelfon balik, Mba. Siapa tau penting gitu …?”
“Gak papa, Ti … Biarin aja….”
Aku hanya mengerucutkan bibir sembari membaca pesan WhatsApp Doni yang ternyata tak kalah banyaknya.
“Maafkan aku, ya. Apa boleh aku susul ke sana ?”
Pertanyaan terakhir ini tentu membuatku makin terganggu. Apa maunya sebenarnya. Bagiku pengkhianatan yang dia lakukan sudah cukup melukaiku. Hubungan kami yang terjalin dua tahun terakhir ternyata tak ada artinya sama sekali. Aku memilih menyudahi hubungan kami yang sebenarnya mulai ada pembicaraan serius untuk meneruskannya ke jenjang pernikahan. Buatku, tak ada kata maaf untuk sebuah pengkhianatan.
“Maaf, Don… Aku gak bisa meneruskan hubungan ini.”
Kularang air mataku untuk menyatakan kesedihan atas pernyataanku itu.
Aku membuka album foto jadul yang tertata rapi di lemari jati tua peninggalan mbah putri. Kubuka satu persatu lembaran tiap album yang ternyata cukup terawat itu. Mataku terpaku pada satu foto lama. Di situ ada aku tentu saja, dan beberapa orang sahabatku. Termasuk Topan. Ah, di mana dia sekarang ini. Lelaki itu adalah kakak kelasku semasa SMP. Bisa dibilang dia cinta monyetku.
“Waah, ada Mas Topan!” suara Siti mengagetkanku
“Duh, Ti..bikin kaget aja,”
“Mbak tau gak,, Mas Topan itu sekarang belom nikah, loh”
“Tau darimana kamu, Ti?”
“Ya taulah, Mba… Kan saya sering ketemu Ibunya kalau lagi belanja di warung pereng kali,”
“Oh…” seruku lirih.
Sejak tadi pagi, aku tak keluar rumah sama sekali. Aku sedikit penasaran ketika membaca koran Suara Merdeka yang tergeletak di meja. Kubaca headline berita tentang pergantian nama jalan di kota ini.
“Sejak kapan nama jalannya diganti, Ti,” tanyaku sembari terus membaca.
“Baru aja, Mba… Ya banyak yang setuju tapi yang gak juga banyak, Mba….”
“Kamu termasuk yang mana, Ti?”
“ Ah, aku ngikut aja Mbaak.. Gak ngaruh juga buat aku, Mbaaa…”
Siti sembari terkekeh menawariku untuk keluar malam itu.
“Biar tau sekarang, Kebumen kayak gimana,”
Kami pun menyusuri jalan kota Kebumen malam itu dengan berjalan kaki. Kulihat lampu-lampu malam yang berpijaran menerangi kota. Tujuan kami adalah Alun-alun Kebumen. Aku berusaha kembali mengingat potongan kenangan-kenangan masa kecilku sampai remaja di kota ini. Karena setelah lulus SMA, aku memutuskan meneruskan kembali bersama kedua orantuaku di Jakarta.
Kota Kebumen sudah berubah. Tak lagi sama seperti dulu. Aku sedikit kesulitan untuk mengingat beberapa tempat. Banyak bangunan yang ternyata sudah berubah selain perubahan nama jalan di kota ini. Kalau kuingat, belasan tahun yang lalu bahkan aku masih bisa merasakan ketakutan luar biasa saat keluar di atas jam delapan malam. Karena jalanan yang sepi dan lampu-lampu yang belum seterang sekarang.
Kami pun memutuskan untuk berjamaah Sholat Isya di Masjid Agung Kauman yang berada berdekatan dengan Alun-alun Kebumen. Ingatanku pun berkejaran saat dulu setiap bulan puasa lebih sering Sholat Tarawih di masjid ini ketimbang di Mushola dekat rumah. Aku suka tempatnya yang luas, bersih.
Dan pulangnya aku dan teman-teman bisa mampir jajan di sekitaran Alun-alun Kebumen. Kenangan bulan puasa juga membuatku kembali mengingat beberapa nama teman masa kecilku. Puji, Anwar, Ida, Idah, dan ..tentu saja ..Topan.. Ah di mana mereka sekarang ….
“Ti, pusat jajannya sekarang di mana?”
“Itu loh, Mba ..di sekitar SMA 1 Kebumen..Lurusss terusss.. poll sampai SMP 1 Kebumen,” jawab Siti penuh semangat.
“Tapi ada juga pusat jajan di dekat Tugu Lawet, Mba!”
“Oh, gitu …Kita makan sate Pak Tukir, Ti.. Masih ada, kan? ”
“Oh, jelas masih, Mbaa !”
Aku benar-benar ingin menikmati dengan benar semua yang ada di Kebumen. Sesekali aku pun mengingat Mbah Putri dan Mbah Kakungku yang sudah tiada. Mereka pun dulu kerap membawaku berjalan-jalan setiap pagi sembari mengambil kenari di sepanjang Jalan Jamenggala dekat SMP 5.
Mereka berdua adalah pengganti orang tuaku yang memutuskan untuk menitipkanku agar bersekolah di Kebumen dengan alasan biaya yang lebih terjangkau dan bisa menemani Mbahku yang saat itu mulai memasuki masa pensiun.
Aku ingin semua ini disudahi saja. Tapi, sepertinya yang berdiam diri di sini membuat Doni semakin penasaran untuk terus menghubungiku. Aku ragu, apakah aku akan pulang besok pagi atau lusa saja.
“Mba, jadi balik besok pagi?”
“ Hmm .. belum tau, Ti..”
Aku membuka ponselku dan melihat aplikasi KAI untuk melihat jadwal kereta. Kulihat ternyata masih banyak tiket yang tersedia. Tapi belum kuputuskan akan pulang besok atau kapan.
“Ti , kalau wisata di sini katanya sekarang makin bagus, ya ?”
“Iya, Mba.. Makin banyak…. Makanya ayok, kita puasin dulu main-main, jalan-jalan. Jangan keburu balik dulu, lah Mba … Mba ini kan Bos too … Gak papa, kan kalau cutinya nambah?”
“Hmm .. kamu bisa aja, Ti”
***
Akhirnya aku memutuskan untuk menunda kepulanganku ke Jakarta. Sabtu pagi ini aku berencana ke Pantai Menganti. Siti sudah mengatur sedemikian rupa untuk perjalanan kami ke sana.
“Mba, mobilnya nanti diantar jam 5, kita langsung berangkat aja, kan? ”
“Okey, Ti…,” sautku sembari melipat mukena. Di halaman depan rumah kudengar suara beberapa tetanggaku yang selesai Sholat Shubuh di Mushola tengah berjalan pulang sembari mengobrol dengan suara yang terdengar hingga ke kamarku.
Sepanjang perjalanan menuju Pantai Menganti aku meluaskan pandaanganku keluar jendela mobil. Kota ini selalu membuatku rindu. Setiap sudutnya aku hafal betul. Aku takjub melihat kemajuan kota ini sepeninggalku ke Jakarta.
Lumayan semakin banyak kemajuan. Meski tadi sempat kurasakan di perjalanan ada beberapa ruas jalan yang rusak dan membuatku terguncang-guncang dan sedikit mual. Kami tiba di Pantai Menganti tepat ketika matahari mulai menampakkan dirinya.
MashaAllah indahnya… Aku pun membiarkan telapak kakiku bersentuhan dengan pasir pantai dan air laut yang sedikit berombak pagi itu. Siti tengah asyik berswafoto.
“Ayo, Mba kita foto dulu. Sayang lohh kalau sampai gak foto ….”
Tiba-tiba ada suara seseorang yang menawarkan untuk memotret kami.
“Kalau butuh bantuan, saya gak keberatan untuk moto, Mba…?”
Kutengok suara itu. Dan betapa kagetnya aku ternyata laki-laki itu adalah Topan!
“Topan ?!”
“Dewi ?”
Kami sama-sama terkaget. Dalam beberapa detik sepertinya aku tak bernafas. Sampai suara Siti yang nyaring membuat kami tersadar.
“Walah kalian itu memang jodooo kali , ya … Kok bisa jadi ketemu di sini!”
Aku tergagap, sembari membalas jabatan tangan dari Topan.
“Hai, apa kabar, Dew…?”
“Ba..baik.. Kamu, kok bisa di sini?”
“Iya, aku cuti karena adekku nikah. Ini nemenin mereka mau prewedding….”
“Waah, kok bisa pass, yaa? Siapa tau abis ini tinggal Mba Dewi dan Mas Topan yang prewed!” teriak Siti
“Siti …” seruku sembari mencubitnya.
Kami pun menghabiskan waktu untuk bercengkerama, sembari menyusuri pantai. Bercerita tentang banyak hal setelah bertahun-tahun kami tak pernah lagi bertemu.
“Kamu.. kerja di mana, Wi? ”
“Mmm.. di radio, Pan… Kamu di mana?” jawabku masih tergagap.
“Kalimantan, Wi .,, jadi buruh tambang. Hehe …,”
“Maafin aku ya, Wi… tentang hari itu ..”
“Yang mana, Pan ..?”
“Maaf soal suratku dulu..”
Perlahan aku kembali mengingat potongan kejadian semasa kami sekolah dulu. Topan mengirimkan surat karena marah menyangkaku menolaknya karena dia hanya anak dari keluarga tak mampu.
“Lupain aja, Pan … Gak papa, kok..”
“Kenapa belum nikah, Wi ..?”
Aku terdiam. Tercekat dengan pertanyaan Topan. Pertanyaan ini sebenarnya yang sangat aku takutkan.
“Enggak, Pan, enggak apa-apa. Cuma belum pingin aja …..”
“Tapi sudah ada calonnya, kan?”
Aku menghela nafas.
“ Aku baru saja mengakhiri hubunganku dengan seseorang, Pan …. Mmm, sebenarnya … aku gak pengen bahas hal ini…” jawabku lirih
“Maaf.. Tapi kalau boleh tau, apa dia nyakitin kamu…?”
Topan bertanya sembari menatapku lembut.
“Mungkin gak jodoh ..” jawabku sembari membuang pandanganku ke arah ombak.
“Wi, apakah mungkin kita berjodoh ..?
Aku kaget dengan pertanyaannya. Tak mampu menjawab pertanyannya. Hanya air mata dan senyumku yang menjadi jawaban.
***
News & Inspiring