
Oleh: Teguh Hindarto
KETIKA kita membicarakan museum, mungkin kita langsung membayangkan sebuah bangunan besar dan megah di kota-kota besar di luar kota kita serta berisikan sejumlah artefak dan benda-benda bersejarah mulai dari patung, prasasti, artefak keagamaan, foto-foto, dokumen arsip.
Sebut saja Museum Nasional Indonesia atau yang sering disebut dengan Museum Gajah yang dahulunya milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen menyimpan puluhan artefak arkeologi, sejarah, etnografi, dan geografi yang berada di bawah naungan Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Ada juga museum yang berlokasi di Yogyakarta yaitu Ullen Sentalu yang berisikan artefak budaya dan museum Dirgantara yang berisikan koleksi pesawat terbang milik TNI AU.
Apakah Kebumen perlu memiliki sebuah museum dan benda-benda apakah yang akan mengisi museum tersebut? Bukankah kita tidak memiliki koleksi artefak sepenting sebagaimana museum-museum di tempat lain? Faye Sayer dalam bukunya, “Sejarah Publik: Sebuah Panduan Praktis” mengatakan, “Museum, arsip, pusat warisan budaya (heritage centres) bukan sekadar gudangnya sejarah.
Ketiganya merupakan fasilitas sejarah publik yang aktif tempat kisah-kisah masa lampau diciptakan dan dikomunikasikan kepada publik” (2017:27). Kita garis bawahi kalimat, “museum…tempat kisah-kisah masa lampau diciptakan dan dikomunikasikan kepada publik”.
Apakah Kebumen memiliki masa lalu? Tentu saja. Itulah sebabnya saya menuliskan sebuah buku bagian dari trilogi sejarah kota dan buku pertama ini saya beri judul, “Bukan Kota Tanpa Masa Lalu: Dinamika Sosial Ekonomi Kebumen Era Arung Binang VII” (Deepublish, 2020).
Jika Kebumen memiliki masa lalu, apakah wujudnya? Tentu saja sejarah dan warisan kultural, ekonomi, sosial baik yang bersifat tanggible (bersifat benda) dan intanggible (bersifat tak benda).
News & Inspiring