
Oleh Gita Kurniawan
HUJAN gerimis yang turun kembali membasahi tubuh mereka di atas aspal yang dingin. Dani merasa panik, tapi ia tahu harus bertindak cepat. Dengan tergesa-gesa, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya yang sedikit tergores akibat kecelakaan.
“Tunggu bentar ya, aku telepon ambulan!” Dani segera menelepon layanan darurat, suaranya bergetar saat menjelaskan lokasi mereka. Sementara itu, Akif hanya bisa memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa nyeri yang semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. Tak berselang lama tampak beberapa penduduk sekitar terlihat berdatangan untuk menolong.
Azan magrib baru saja usai ketika ambulans yang membawa Akif tiba di sebuah kawasan dengan bangunan besar berarsitektur Eropa. Hujan gerimis tampak mulai turun perlahan. Dani, yang baru pertama kali ke rumah sakit tersebut merasakan suasana asing yang mencekam.
Mobil ambulans berjalan perlahan melewati pintu gerbang besar yang bertuliskan huruf-huruf.
“R-U-M-A-H S-A-K-I-T L-O-N-D-O, Rumah Sakit Londo…” Dani mengeja perlahan barisan huruf yang tersusun diatasnya. Dinamakan demikian mungkin karena rumah sakit ini peninggalan Belanda kali ya?” tanya Dani dalam hati.
Meskipun bangunannya tua dan tampak sedikit menyeramkan, rumah sakit itu masih berdiri kokoh, khas seperti bangunan-bangunan peninggalan Belanda.
Dani tetap berada di samping Akif saat petugas medis membuka pintu ambulans dan mendorong brankar, semacam tempat tidur dorong darurat yang dilengkapi roda dan tiang infus. Suara rodanya terdengar berdecit ketika berputar menyentuh lantai rumah sakit yang dingin, “Kriiiet… kriiiet…”, suaranya menggema di sepanjang koridor rumah sakit yang sunyi.
Udara terasa lembap dan dingin. Lampu-lampu neon di langit-langit lorong berkedip-kedip pelan, sesekali memancarkan cahaya redup yang membuat bayangan di dinding bergerak-gerak seakan menari. Sepanjang jalan, hanya terdengar suara langkah kaki dokter dan perawat yang sedang bertugas.
Sesampainya di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD), Dani berusaha tetap tenang meski pikirannya masih kacau akibat kecelakaan tadi. Ia sudah tidak bisa mendampingi Akif karena sudah ditangani oleh dokter. Dari sekelebat kain korden yang tersingkap, terlihat Akif tampak kesakitan.
Sementara itu, Dani sibuk menjelaskan kronologi kecelakaan kepada seorang perawat, suaranya gemetar tapi ia berusaha sebaik mungkin untuk tetap terdengar jelas.
Saat Dani menunggu di depan ruang IGD, seorang pria paruh baya datang menghampiri sekaligus memperkenalkan diri, beliau mengaku sebagai ketua RT yang rumahnya tidak jauh dari lokasi Dani mengalami kecelakaan. Pak Amat namanya ketika memperkenalkan diri. Beliau sengaja datang menyusul untuk memberi kabar tentang motor Dani.
“Dik Dani,” ujar pak Amat dengan nada tenang, “Motor adik yang jatuh tadi dititipkan di bengkel samping rumah bapak ya. Bapak khawatir kalau dibiarkan di jalan malah jadi tontonan anak-anak. Kalau di sana Inshaa Alloh aman, nanti kalau dik Dani sudah selesai urusannya di sini, motornya bisa diambil.” Rumah pak Amat sendiri berada di dekat pertigaan jalan setelah turunan curam tadi.
Dani mengangguk dengan penuh terima kasih. “Iya, pak. Terima kasih banyak sudah bantu. Saya juga bingung tadi, untung bapak-bapak semua cepat datang menolong.”
News & Inspiring