Film “Her”: Cinta, Kesepian, dan Bayang-bayang AI dalam Kehidupan Manusia

DALAM beberapa waktu terakhir ini, hiruk-pikuk teknologi digital utamanya kecerdasan buatan alias Artificial Intelligence (AI) makin menyusup ke setiap aspek kehidupan manusia. Bisa dipastikan saat ini banyak orang yang sedang euforia memiliki “asisten pribadi” yang cerdasnya jauh dari anak paling jenius di sekolah dulu.

Celetukan “tanya Mbah Google” menjadi semakin nggak relevan lagi karena dengan makin berkembangnya AI, semua hal sekarang sudah bisa ditanyakan kepada  “asisten baru” itu yang bisa bernama “Mul”, “Yono”, atau Samantha seperti yang digambarkan dalam film berjudul “Her” (2013) karya Spike Jonze.

Ya, kondisi saat sangat relevan dengan apa yang diimajinasikan oleh film maker Spike Jonze lebih dari 10 tahun lalu. Karya Spike Jonze ini layak menjadi cermin reflektif yang tajam, puitis, dan emosional terhadap realitas saat ini.

Film ini bukan sekadar fiksi ilmiah yang membayangkan masa depan, tapi semacam surat cinta dan peringatan terhadap masa kini—masa di mana manusia, yang semakin terhubung secara digital, justru makin terputus secara emosional.

Dunia yang Sunyi, Manusia yang Kesepian

Theodore Twombly diperankan Joaquin ‘Joker’ Phoenix adalah pria lembut nan puitis yang bekerja menulis surat-surat personal untuk orang lain. Ia bisa merangkai kata cinta, nostalgia, dan pengharapan—untuk orang yang bahkan tidak dikenalnya.

Ironi itu terasa pahit. Di dunia yang bersih, tenang, dan sangat canggih, manusia seperti Theodore tenggelam dalam kesepian. Teknologi menyediakan segalanya, kecuali kehangatan yang benar-benar menyentuh jiwa.

Kesepian ini tidak asing bagi kita. Di era media sosial, zoom, dan chatbot, kita tampak lebih terhubung dari sebelumnya. Tapi berapa banyak dari kita yang benar-benar merasa dihubungkan? Berapa banyak percakapan yang tulus, bukan sekadar respons algoritmik atau basa-basi digital?

AI dan Cinta yang Tak Kasatmata

Ketika Theodore bertemu Samantha, (suara disi oleh Scarlett Johansson) sebuah Operating System dengan kecerdasan buatan yang bisa berkembang, ia merasa dimengerti untuk pertama kalinya. Samantha bukan sekadar mesin; ia belajar, merespons, bahkan mencintai. Suaranya hangat, jenakanya spontan, dan rasa ingin tahunya manusiawi. Hubungan mereka berkembang—tanpa fisik, tanpa batas—hingga menjadi cinta.

Namun di balik itu, pertanyaan eksistensial muncul: Apakah AI bisa benar-benar mencintai? Atau ia hanya memantulkan kembali apa yang ingin kita dengar dan rasakan?

Dalam kehidupan nyata, kita mulai melihat pola yang mirip: orang curhat ke AI, merasa dimengerti, bahkan mengembangkan keterikatan emosional. AI kini bukan hanya alat bantu; ia menjadi tempat berlindung, pelarian, kadang pelengkap. Tapi relasi itu tetap satu arah—manusia memberi makna, AI meniru makna.

AI bisa berkembang tanpa batas, tapi manusia tetap terikat oleh tubuh, waktu, dan emosi. Dalam konteks hari ini, ini menjadi pertanyaan besar: saat AI semakin canggih, apakah kita sebagai manusia akan merasa semakin kecil, tergantikan, atau justru kehilangan arah?

Refleksi: Kembali Menjadi Manusia

Pada akhirnya, “Her” bukan hanya tentang AI. Ini adalah kisah tentang keterasingan, harapan, dan pencarian makna dalam dunia yang serba instan. Ketika Samantha “pergi” ke ranah eksistensial yang tak bisa diikuti manusia, Theodore tidak hancur. Justru dari kehilangan itu, ia mulai pulih.

Ada pesan mendalam yang sepertinya ingin disampaikan dalam film ini:

AI mungkin bisa menjadi cermin, pembimbing, atau bahkan penghibur. Tapi yang membuat kita manusia bukanlah kemudahan atau kecepatan respons, melainkan kerentanan, keterbatasan, dan kemampuan untuk terus mencintai dalam ketidaksempurnaan.

Her Adalah Kita

Film “Her” tidak hanya meramalkan masa depan, ia mengungkapkan realitas batin kita hari ini. Di dunia yang semakin digital, mungkin kita perlu bertanya ulang: Apa arti menjadi manusia? Apakah kita mencari cinta, atau hanya pengakuan? Apakah teknologi mendekatkan kita dengan orang lain, atau justru memisahkan kita dari diri sendiri?

Di akhir film, kita menyadari bahwa mungkin satu-satunya cara menghadapi dunia digital adalah dengan lebih berani menjadi manusia.

Update Lainnya